Masyarakat Harus Belajar Dari Gempa Jogja Tahun 2006
Yogyakarta, 27/05/2021. Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah hari ini (27/05) menyelenggarakan acara Refleksi 15 Tahun Gempa Bumi DIY – Jateng dengan tema “Merawat Ingatan Masyarakat Menuju Terwujudnya Budaya Sadar Bencana” yang dipusatkan dari Pundong, Bantul, Yogyakarta sebagai pusat gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei tahun 2006 silam.
Acara ini menghadirkan beberapa narasumber yaitu para Lurah Pople Kampung Organized (PKO) Bambang Lipuro, Riyoto, Lurah PKO Imogiri, Riyadi, Lurah PKO Blawong, Sudirpano dan Lurah PKO Ganti Warno Klaten, Sukarto. Para penanggap yang hadir yaitu Indrayanto, Koordinator Divisi TDRR MDMC PP Muhammadiyah, Naibul Umam Eko Sakti, Koordinator Divisi Organisasi dan Kepemimpinan, Budi Santoso, Koordinator Divisi PRBK, Nurni Sukma, Ketua LLHPB Aisyiyah Pimpinan Pusat Aisyiyah. Sedangkan pembicara kunci dalam acara ini adalah Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.
Ketua MDMC PP Muhammadiyah, Budi Setiawan dalam sambutan pembukaan menyampaikan momen peringatan ini agar menjadi pembelajaran. “Dari Gempa Jogja kita mengetahui rumah-rumah yang hancur itu karena dua hal, pertama terletak di jalur gempa dan kedua karena bangunan yang tidak ramah terhadap gempa. Harus terus diingatkan, peta jalur gempa dan melakukan penguatan-penguatan bangunan agar tidak terulang apa yang telah terjadi,” kata Budi Setiawan.
Dwikorita Karnawati dalam paparan materinya menyampaikan beberapa masukan dan rekomendasi dari BMKG sebagai refleksi peringatan Gempa Jogja. “Penerapan tata ruang dan standart bangunan tahan gempa dan tsunami harus dilakukan dengan ketat, berdasarkan peta mikrozonasi serta peta bahaya tsunami,” katanya.
Selanjutnya Dwikorita Karnawati menambahkan poin penting untuk melakukan audit kelayakan konstruksi bangunan dan infrastruktur, kemudian harus disiapkan jalur dan sarana prasarana evakuasi yang layak dan memadai, serta penguatan sistem informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami dengan menguatkan sinergi pentahelix.
“Jadi sistemnya sudah dibangun secara fisik, tetapi secara sosial ini masih harus diuji. Benarkah informasi dari BMKG ini diterima oleh masyarakat atau misalnya berhenti di BPBD, tidak berhasil diteruskan misalnya karena tidak ada yang jaga,” Dwikorita Karnawati menegaskan.
Dwikorita Karnawati juga menekankan pentingnya edukasi, literasi dan advokasi untuk membangun budaya mitigasi dan ketangguhan terhadap bencana perlu terus dilakukan dengan melibatkan unsur penthahelix. “Kemudian perlu latihan rutin, kalau setiap tanggal 26 sirine selalu di tes, dibunyikan. Tetapi kami lihat cukup banya sirine yang tidak berbunyi,” ungkapnya.
Terakhir, Dwikorita Karnawati tidak lupa menekankan pentingnya riset, kajian dan pengembangan teknologi, monitoring, evaluasi, serta penyempurnaan menerus terhadap sistem mitigasi dan kesiapsiagaan.
Sementara itu para nara sumber dari pelaku program People Kampoeng Organized (PKO) yang diinisiasi oleh Muhammadiyah saat terjadinya Gempa Jogja 2006 masing-masing menceritakan pengalaman saat terjadi gempa dan pembelajaran yang dapat dipetik.
Salah satu narasumber, Riyadi, Lurah PKO Imogiri menyampaikan poin pembelajaran yang didapat yaitu bahwa Muhammadiyah dalam memberikan bantuan dengan tulus dan PKO itu memberdayakan kampung. “Dengan adanya PKO itu bagian dari meminimalisir bencana berikutnya, bencana sosial. Dengan PKO kami bisa memfilter mana bantuan yang bisa kami masukkan, mana yang kita batasi,” kata Riyadi.
Sedangkan Sukarto, Lurah PKO Gantiwarno, Klaten bercerita saat itu dirinya mengatakan kepada warga untuk tidak mudah percaya begitu saja terhadap isu terjadinya tsunami dan lebih percaya pada informasi yang disampaikan oleh pihak berwenang.
“Yang perlu jadi pembelajaran itu ternyata kita punya teman banyak, pada waktu kita susah itu masih banyak teman. Pada waktu itu saya mengkondisikan tetangga, masyarakat itu supaya tenang dan kita kondisikan betul untuk gotong royong. Saya inginnya program PKO itu jangan sampai dulu berhenti seperti itu, kalau ada kelanjutannya akan menata betul kampung akan lebih baik, akan tanggap bencana,” kata Sukarto.
Indrayanto, dalam tanggapannya mengungkapkan tahapan penanganan darurat ada 3 hal : siaga darurat, tanggap darurat, dan pemulihan hal ini mengacu pada Perka BNPB dan pedoman penanganan darurat Muhammadiyah. “Kesiapsiagaan untuk gempa dan tsunami ini harus dibangun terus-menerus baik di tingkat masyarakat maupun petugas, relawan beserta peralatannya,” ungkap Indrayanto.
Budi Santosa, dalam tanggapannya mengatakan pembelajaran baik dari pengelolaaan dampak bencana gempa bumi 2006 kedepan adalah pentingnya menyiapkan masyarakat menghadapi bencana, paradigma mitigasi dan kesiapsiagaan menjadi platform komunitas.
Kemudian Naibul Umam Eko Sakti menuturkan bahwa pola penangan bencana di Muhammadiyah sudah terstruktur dengan baik maka pola ini harus semakin dikembangkan menjadi literasi yang baik, program program PRB perlu di kuatkan kelembagannya. Usulan pembentukan MDMC tidak hanya di tingkat daerah melainkan bias sampai ditingkat cabang maupun ranting dan melibatkan Aisyiyah.
Terakhir, Nurni Sukma mengungkap peran perempuaan sangat penting dalam penanganan bencana, perempuan harus mampu menjadi guru dan memberikan edukasi terkait bagaimana menghadapi, merecovery saat terjadi bencana. Muhammdiyah tidak memandang ras, suku, bahkan gender yang terpenting adalah jiwa kemanusiaannya. (Tim Media MDMC)